Tujuh Isu Keumatan yang Dicetuskan Muhammadiyah Perlu Diperhatikan
MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANDUNG—Muhammadiyah melalui Muktamar ke-48 tanggal 18–20 November 2022 di Surakarta telah menetapkan isu-isu strategi. Salah satu isu yang dibahas ialah problem keumatan. Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Alimatul Qibtiyah dalam kajian Gerakan Subuh Mengaji pada Kamis (26/01), ada tujuh isu keumatan yang dibahas, di antaranya:
Pertama, fenomena rezimentasi paham agama. Menurut Alim, Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, bukan negara agama maupun negara sekuler. Karena bukan negara agama maka tidak boleh ada agama yang mendominasi, apalagi kelompok keagamaan tertentu. Akan tetapi, saat ini selain terdapat kenyataan adanya kekuatan formalisasi agama di ruang publik, pada saat yang sama adanya gejala rezimintasi agama oleh suatu kelompok keagamaan.
“Umat Islam memiliki keragaman pendapat dan pandangan yang itu harus kita hargai,” ucap Alim.
Kedua, membangun kesalehan digital. Para pemimpin agama, ulama-intelektual, elite bangsa, tokoh adat, serta institusi-institusi pendidikan dan sosial keagamaan penting menjadi aktor yang terlibat aktif dalam mengembangkan keadaban digital sekaligus menjadi uswah hasanah atau teladan yang baik dalam menggunakan teknologi digital yang masif itu. Perlu panduan keagamaan dan moral membangun kesalehan digital di berbagai institusi dan lingkungan sosial masyarakat luas.
Ketiga, memperkuat persatuan umat. Diperlukan komunikasi yang lebih intensif di antara pimpinan organisasi-organisasi Islam untuk menghilangkan sentimen primordial dan menjalin kedekatan personal serta persahabatan yang sejati.
Keempat, reformasi tata kelola filantropi Islam. “Saya sangat senang di Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah itu ada gerakan ekonomi di setiap sektor. Di sini bagaimana Lazismu, MDMC, dan lain-lain memainkan peran penting dalam filantropi Islam, membantu mereka yang kesusahan dan sebagainya,” ucap Alim.
Kelima, beragama yang mencerahkan. Dalam memahami ajaran agama, digunakan tiga pendekatan, yakni bayani (menggunakan teks), burhani (menggunakan akal) dan ‘irfani (menggunakan hati). “Kalau kita menggunakan pendekatan yang dilakukan Majelis Tarjih ini, maka itu akan bisa menjadikan agama sebagai medium pencerahan,” tutur Alim.
Keenam, otentisitas wasathiyah Islam. Menurut Alim, Wasathiyah berarti membangun sikap beragama yang moderat. Cara pandang beragama yang tengahan (wasathiyah) dengan mengedepankan paham dan sikap yang adil, ihsan, arif, damai, dan menebar rahmat baik dalam menyikapi perbedaan maupun membangun kehidupan beragama.
Ketujuh, spiritualitas generasi milenial. Pergeseran dan perubahan pandangan hidup dan kehidupan yang cenderung menjauh dari nilai-nilai luhur budaya Indonesia dan agama bisa menimbulkan terjadinya degenerasi diniah (keagamaan). Generasi milenial adalah pelangsung, penerus perjuangan, dan pemegang estafeta kepemimpinan yang bertanggung jawab memajukan dan membangun kesejahteraan umat, bangsa, dan negara.
(https://muhammadiyah.or.id/tujuh-isu-keumatan-yang-dicetuskan-muhammadiyah-perlu-diperhatikan/)
Artikel Lainnya :
- Saad Ibrahim: Inti daripada Ikhlas adalah Tauhid
- Geliat Pengajian Rutin Muhammadiyah Sidenreng Rappang
- Tauhid Itu Meninggikan Allah dan Memperlakukan Semua Manusia Setara
- Bagaimana Dakwah Muhammadiyah di Tana Toraja?
- Prihatin Atas Kesulitan Air Bersih yang Dialami Pemulung, Lazismu Salurkan Bantuan Tandon Air Bersih