
Muhammadiyah Bahas Awal Hari dalam Kalender Hijriah Global Tunggal
MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah,
Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar, menguraikan konsep awal hari dalam Kalender
Hijriah Global Tunggal (KHGT) pada Halaqah Nasional di Yogyakarta, Sabtu
(19/04). Arwin memulai dengan menjelaskan etimologi istilah “hari” (al-yaum)
dalam bahasa Arab, yang memiliki makna kaya namun fleksibel. Berdasarkan
literatur, hari dapat didefinisikan sebagai “mutlak az-zaman” (waktu absolut),
“al-waqt” (periode waktu), atau “al-hin” (saat tertentu). Secara astronomis, hari
diartikan sebagai periode dari terbit hingga terbenamnya matahari.
Namun,
secara umum, hari adalah “periode waktu yang terus bersambung” (muddah min
az-zaman mubtadi’ah muttasilah). “Makna hari sangat fleksibel, tergantung
perspektif dan literatur yang digunakan,” ujarnya. Arwin mengidentifikasi tiga
konsep utama tentang awal hari yang berkembang dalam tradisi Islam:Pertama, saat gurub (terbenam
matahari). Berdasarkan Surah Yasin ayat 40 yang menyebutkan “malam” (wal-lailu)
sebelum “siang” (nahar), beberapa kalangan menyimpulkan bahwa awal hari adalah
saat matahari terbenam. Praktik puasa yang dimulai setelah maghrib juga
memperkuat pandangan ini. Namun, Arwin menegaskan bahwa ini hanyalah kesimpulan
dari kebiasaan, bukan ketentuan definitif.
Kedua,
saat fajar (terbit fajar). Dalam mazhab Hanafiyah, pandangan ini merujuk pada
hadis Nabi tentang puasa yang dimulai sejak fajar, diperkuat oleh Surah
Al-Baqarah ayat 187. Meski demikian, Arwin menyebut tidak ada definisi syariat
yang tegas untuk ini. Ketiga, saat tengah malam (Jam 00.00): Konsep ini relatif
baru dan diusulkan oleh Jamaluddin Abdur Razzaq. Argumennya, waktu terbit dan
terbenam matahari bervariasi di setiap tempat, sedangkan tengah malam lebih
universal. Selain itu, waktu ibadah seperti puasa tidak terikat langsung pada
konsep hari secara astronomis.
Namun,
Arwin mengakui bahwa literatur klasik belum mendukung pandangan ini. “Saya
belum menemukan ulama atau fuqaha klasik yang menyebut tengah malam sebagai
awal hari. Ini perlu kajian lebih lanjut,” katanya. Arwin menekankan bahwa
tidak ada ketentuan syariat yang definitif tentang kapan dan di mana hari
dimulai. “Definisi gurub, fajar, atau tengah malam berasal dari praktik ibadah,
bukan aturan baku. Ini membuat konsep hari bersifat fleksibel,” jelasnya. Ia
juga mengingatkan bahwa pandangan ini sensitif bagi kalangan yang memegang
teguh pendapat jumhur ulama bahwa awal hari adalah setelah gurub. “Kita perlu
menjelaskan ini dengan hati-hati agar tidak dianggap menentang ulama,”
tambahnya.
Lokasi Awal Hari: Makkah atau Samudera Pasifik?
Mengenai lokasi awal hari, Arwin menyebut dua
pandangan utama: Makkah dan Samudera Pasifik. Secara historis, Makkah sering
ditempatkan sebagai acuan awal hari karena keistimewaannya sebagai tempat
Ka’bah.
Beberapa cendekiawan seperti Abu Zahra, Hasbi
Ash-Shiddieqy, dan astronom Arab Saudi Muhammad Hasan Basurah mendukung gagasan
ini. Darmawan Abdullah bahkan mengusulkan bahwa jam 00.00 di Makkah dimulai
saat maghrib, mengubah paradigma bahwa jam 18.00 menjadi jam 00.00. “Secara
psikologis dan keagamaan, Makkah sebagai awal hari sangat menarik karena
orientasi umat Islam ke Ka’bah,” ujar Arwin.
Namun,
ia mengakui tantangan teknis jika Makkah dijadikan acuan. “Ada banyak
kemudharatan jika Makkah jadi awal hari, sehingga secara implementatif,
Samudera Pasifik lebih layak,” katanya.
Meski demikian, Arwin belum menemukan
literatur klasik yang mendukung Samudera Pasifik sebagai acuan. “Ini masih
perlu penguatan literatur, terutama dari perspektif fikih,” ungkapnya.
Tantangan Praktis KHGT: Kapan
Salat Tarawih?
Dalam konsep KHGT, awal hari ditetapkan pada
tengah malam (jam 00.00) secara global. Arwin memberikan contoh: jika hilal
terlihat di Los Angeles, di Indonesia bagian timur (misalnya Papua) waktu
setempat sudah pukul 10.00 pagi. Ini berarti awal hari (dan puasa) di Indonesia
dimulai pada jam 00.00 hari sebelumnya.
Pertanyaan krusial yang muncul adalah kapan
salat tarawih dilaksanakan. Arwin mengusulkan tiga opsi:
Pertama, konsisten dengan tengah malam. Salat
tarawih dilakukan setelah jam 00.00, sejalan dengan awal hari KHGT.
Kedua, setelah salat isya. Tarawih tetap
dilakukan setelah salat Isya sebelum tengah malam, merujuk pandangan Jamaluddin
Abdur Razzaq bahwa waktu ibadah tidak terikat langsung pada konsep hari.
Ketiga, fleksibel untuk hari pertama. Pada
malam pertama, umat dapat memilih opsi pertama atau kedua, kemudian untuk
hari-hari berikutnya melaksanakan tarawih setelah Isya seperti biasa.
Arwin menegaskan bahwa konsep awal hari dalam
KHGT memerlukan kajian lebih lanjut, terutama untuk memperkuat literatur fikih
dan menyederhanakan penjelasan agar diterima luas. “Saya berharap ada opsi
keempat atau kelima dari diskusi ini. Ini pertanyaan penting karena akan kita
praktikkan pasca-peluncuran KHGT,” ujar Arwin, mengundang masukan dari peserta
halaqah.
Sumber : MUHAMMADIYAH.OR.ID
Artikel Lainnya :
- Snack Box on Demand, Strategi Cerdas Mahasiswa Kuliner UMS Rappang
- Peluncuran BTM AMMAN Link untuk Inklusivitas Keuangan Umat
- Muhammadiyah Konsisten Bantu Palestina Lewat Banyak Cara
- UMS Rappang Gelar Evaluasi dan Sosialisasi Media untuk Tingkatkan Literasi Digital Kampus
- Mahasiswa Agroteknologi UMS Rappang Panen Stek Ubi Jalar di Bili-Bili, Gowa