Status PDDIKTI rektoratumsrappang@gmail.com 085299570468 Kode PT : 091058
Muhammadiyah Bahas Awal Hari dalam Kalender Hijriah Global Tunggal By Widia Awalia  22 Apr 2025, 13:02:02 WIB

Muhammadiyah Bahas Awal Hari dalam Kalender Hijriah Global Tunggal

MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar, menguraikan konsep awal hari dalam Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) pada Halaqah Nasional di Yogyakarta, Sabtu (19/04). Arwin memulai dengan menjelaskan etimologi istilah “hari” (al-yaum) dalam bahasa Arab, yang memiliki makna kaya namun fleksibel. Berdasarkan literatur, hari dapat didefinisikan sebagai “mutlak az-zaman” (waktu absolut), “al-waqt” (periode waktu), atau “al-hin” (saat tertentu). Secara astronomis, hari diartikan sebagai periode dari terbit hingga terbenamnya matahari.

 

Namun, secara umum, hari adalah “periode waktu yang terus bersambung” (muddah min az-zaman mubtadi’ah muttasilah). “Makna hari sangat fleksibel, tergantung perspektif dan literatur yang digunakan,” ujarnya. Arwin mengidentifikasi tiga konsep utama tentang awal hari yang berkembang dalam tradisi Islam:Pertama, saat gurub (terbenam matahari). Berdasarkan Surah Yasin ayat 40 yang menyebutkan “malam” (wal-lailu) sebelum “siang” (nahar), beberapa kalangan menyimpulkan bahwa awal hari adalah saat matahari terbenam. Praktik puasa yang dimulai setelah maghrib juga memperkuat pandangan ini. Namun, Arwin menegaskan bahwa ini hanyalah kesimpulan dari kebiasaan, bukan ketentuan definitif.

Kedua, saat fajar (terbit fajar). Dalam mazhab Hanafiyah, pandangan ini merujuk pada hadis Nabi tentang puasa yang dimulai sejak fajar, diperkuat oleh Surah Al-Baqarah ayat 187. Meski demikian, Arwin menyebut tidak ada definisi syariat yang tegas untuk ini. Ketiga, saat tengah malam (Jam 00.00): Konsep ini relatif baru dan diusulkan oleh Jamaluddin Abdur Razzaq. Argumennya, waktu terbit dan terbenam matahari bervariasi di setiap tempat, sedangkan tengah malam lebih universal. Selain itu, waktu ibadah seperti puasa tidak terikat langsung pada konsep hari secara astronomis.

Namun, Arwin mengakui bahwa literatur klasik belum mendukung pandangan ini. “Saya belum menemukan ulama atau fuqaha klasik yang menyebut tengah malam sebagai awal hari. Ini perlu kajian lebih lanjut,” katanya. Arwin menekankan bahwa tidak ada ketentuan syariat yang definitif tentang kapan dan di mana hari dimulai. “Definisi gurub, fajar, atau tengah malam berasal dari praktik ibadah, bukan aturan baku. Ini membuat konsep hari bersifat fleksibel,” jelasnya. Ia juga mengingatkan bahwa pandangan ini sensitif bagi kalangan yang memegang teguh pendapat jumhur ulama bahwa awal hari adalah setelah gurub. “Kita perlu menjelaskan ini dengan hati-hati agar tidak dianggap menentang ulama,” tambahnya.

Lokasi Awal Hari: Makkah atau Samudera Pasifik?

Mengenai lokasi awal hari, Arwin menyebut dua pandangan utama: Makkah dan Samudera Pasifik. Secara historis, Makkah sering ditempatkan sebagai acuan awal hari karena keistimewaannya sebagai tempat Ka’bah.

Beberapa cendekiawan seperti Abu Zahra, Hasbi Ash-Shiddieqy, dan astronom Arab Saudi Muhammad Hasan Basurah mendukung gagasan ini. Darmawan Abdullah bahkan mengusulkan bahwa jam 00.00 di Makkah dimulai saat maghrib, mengubah paradigma bahwa jam 18.00 menjadi jam 00.00. “Secara psikologis dan keagamaan, Makkah sebagai awal hari sangat menarik karena orientasi umat Islam ke Ka’bah,” ujar Arwin.

Namun, ia mengakui tantangan teknis jika Makkah dijadikan acuan. “Ada banyak kemudharatan jika Makkah jadi awal hari, sehingga secara implementatif, Samudera Pasifik lebih layak,” katanya.

Meski demikian, Arwin belum menemukan literatur klasik yang mendukung Samudera Pasifik sebagai acuan. “Ini masih perlu penguatan literatur, terutama dari perspektif fikih,” ungkapnya.

Tantangan Praktis KHGT: Kapan Salat Tarawih?

Dalam konsep KHGT, awal hari ditetapkan pada tengah malam (jam 00.00) secara global. Arwin memberikan contoh: jika hilal terlihat di Los Angeles, di Indonesia bagian timur (misalnya Papua) waktu setempat sudah pukul 10.00 pagi. Ini berarti awal hari (dan puasa) di Indonesia dimulai pada jam 00.00 hari sebelumnya.

Pertanyaan krusial yang muncul adalah kapan salat tarawih dilaksanakan. Arwin mengusulkan tiga opsi:

Pertama, konsisten dengan tengah malam. Salat tarawih dilakukan setelah jam 00.00, sejalan dengan awal hari KHGT.

Kedua, setelah salat isya. Tarawih tetap dilakukan setelah salat Isya sebelum tengah malam, merujuk pandangan Jamaluddin Abdur Razzaq bahwa waktu ibadah tidak terikat langsung pada konsep hari.

Ketiga, fleksibel untuk hari pertama. Pada malam pertama, umat dapat memilih opsi pertama atau kedua, kemudian untuk hari-hari berikutnya melaksanakan tarawih setelah Isya seperti biasa.

Arwin menegaskan bahwa konsep awal hari dalam KHGT memerlukan kajian lebih lanjut, terutama untuk memperkuat literatur fikih dan menyederhanakan penjelasan agar diterima luas. “Saya berharap ada opsi keempat atau kelima dari diskusi ini. Ini pertanyaan penting karena akan kita praktikkan pasca-peluncuran KHGT,” ujar Arwin, mengundang masukan dari peserta halaqah.

 

Sumber : MUHAMMADIYAH.OR.ID